Suku Banjar atau biasa disebut Urang Banjar, berasal dari wilayah Kalimantan Selatan. Sebagian dari mereka juga berada di Kalimantan Tengah dan sebagian di Kalimantan Timur.
Populasi suku Banjar dalam jumlah besar juga dapat ditemui di wilayah Riau, Jambi, Sumatera Utara, dan Semenanjung Malaysia. Hal ini terjadi karena banyaknya migrasi orang Banjar ke Kepulauan Melayu pada abad ke-19.
Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, orang suku Banjar berjumlah 4,1 juta jiwa. Sekitar 2,7 juta orang Banjar tinggal di Kalimantan Selatan, 1 juta orang Banjar tinggal di wilayah Kalimantan lainnya, serta 500 ribu orang Banjar lainnya tinggal di luar Kalimantan.
Sejak dahulu, orang Banjar mulai menempati beberapa daerah di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur, terutama kawasan dataran rendah dan hilir dari kawasan arus sungai wilayah tersebut.
Mereka berasal dari daerah Banjar yang merupakan pembauran masyarakat beberapa daerah aliran sungai seperti DAS bahan, DAS Barito, DAS Martapura, dan DAS Tabanio.
Dari sini, suku Banjar bergerak melakukan migrasi secara meluas ke berbagai daerah Nusantara, bahkan hingga ke Madagaskar di Afrika.
Suku Banjar terbentuk dari suku-suku Bukit, Maanyan, Lawangan, dan Ngaju yang banyak juga dipengaruhi oleh Melayu dan Jawa. Maka, dapat ditarik kesimpulan bahwa asal usul suku Banjar berasal dari campuran beberapa suku, meskipun yang dominan adalah suku Dayak.
Suku ini umumnya terbagi lagi menjadi 3 sub suku, yaitu Banjar Pahuluan, Banjar Batang Banyu, dan Banjar Kuala.
Banjar Pahuluan, pada dasarnya adalah penduduk daerah lembah sungai atau cabang sungai Bahan yang berhulu ke pegunungan Meratus. Kelompok ini terdiri dari campuran orang Melayu-Hindu dan orang Dayak Meratus yang bercakap bahasa Melayik.
Lalu, orang Banjar Batang Banyu mendiami lembah sungai Bahan. Mereka adalah campuran orang Pahuluan, orang Melayu-Hindu/Buddha, orang Keling-Gujarat, orang Dayak Maanyan, orang Dayak Lawangan, orang Dayak Bukit, dan orang Jawa-Hindu Majapahit.
Sedangkan orang Banjar Kuala menghuni daerah sekitar Banjarmasin dan Martapura. Kelompok ini merupakan campuran orang Kuin, orang Batang Banyu, orang Dayak Ngaju, orang Kampung Melayu, orang Kampung Bugis-Makassar, orang Kampung Jawa, orang Kampung Arab, dan beberapa orang Cina Parit yang masuk Islam.
Hingga saat ini, proses amalgamasi masih berlangsung di dalam kelompok masyarakat suku Banjar Kuala.
Kebudayaan Suku Banjar
Umumnya, adat kebudayaan masyarakat Banjar berakar dari suku Dayak Kaharingan. Namun, setelah pengislaman massal, adat Dayak Kaharingan tadi disesuaikan dengan keyakinan baru mereka yaitu Islam.
Ada beberapa ciri khas yang bisa ditemukan dari orang Banjar. Pertama, mereka memiliki keterampilan mengolah area pasang surut. Pasalnya kehidupan suku banjar terutama kelompok Banjar Kuala dan Batang Banyu sangat dekat dengan sungai.
Sebagai sarana transportasi, orang Banjar mengembangkan beragam Jukung atau perahu sesuai fungsinya. Mereka memanfaatkan kondisi geografis Kalimantan Selatan yang memiliki banyak sungai dengan sebaik mungkin.
Sehingga, rata-rata menjadi ahli dalam mengolah lahan pasang surut menjadi kawasan permukiman dan budi daya pertanian.
Lalu, suku Banjar memiliki rumah tradisional mereka sendiri yaitu Rumah Banjar. Ciri-ciri arsitekturnya yaitu memiliki perlambang, penekanan pada atap, ornamen, serta dekoratif dan simetris. Diantara semua jenis rumah Banjar, tipe Bubungan Tinggi adalah yang paling dikenal sebagai identitas suku ini.
Suku banjar juga memiliki tradisi lisan yang dipengaruhi oleh budaya Melayu, Arab, dan Cina. Tradisi lisan Banjar yang menjadi kesenian ini berkembang pada abad ke-18, diantaranya seperti Madihin dan Lamut.
Madihin adalah puisi rakyat anonim bertipe hiburan yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa Banjar dengan bentuk fisik dan mental tertentu, yang disesuaikan dengan khasanah folklor Banjar.
Sedangkan Lamut merupakan tradisi berkisah yang berisi cerita tentang pesan dan nilai-nilai keagamaan, sosial, serta budaya Banjar.
Kebudayaan lainnya adalah seni teater tradisional yang disebut Mamanda. Mamanda hampir mirip dengan Lenong, namun tokoh-tokoh yang dimainkan lebih baku seperti raja, perdana menteri, panglima, permaisuri, dan sebagainya.
Suku Banjar yang berasal dari Kalimantan Selatan ini juga memiliki musik tradisional khas bernama musik Panting. Disebut Panting, karena berbentuk seperti gambus yang memakai senar atau panting.
Kerajaan Banjarmasin, biasa disebut sedikit lebih ringkas dengan Kerajaan Banjar, merupakan kerajaan bercorak Islam yang didirikan oleh Pangeran Samudera pada tahun 1562. Pangeran ini pula yang menjadi raja pertama Kerajaan Banjar yang setelah memeluk Islam mengganti nama dan gelarnya menjadi Sultan Suriansyah atau Sultan Suryanullah. Pusat pemerintahannya berada di Banjarmasin sampai pada Abad Ke-18, setelahnya hingga Abad Ke-19 pusat pemerintahan berada di Martapura. Sekarang. Setelah zaman kemerdekaan, Martapura merupakan ibukota Kabupaten Banjar. Apa yang telah dilakukan oleh Pangeran Samudera merupakan tindakan radikal bukan saja karena ia telah memilih Islam sebagai agama barunya, tetapi juga “Islam telah dijadikan agama negara”. Islam dengan demikian kemudian nyaris secara serempak melandasi segenap aspek kehidupan rakyat Kerajaan Banjar, yang sebelumnya menganut Hindu.
Nuansa keislaman juga tercermin pada nama seluruh sultan yang pernah berkuasa di Kerajaan Banjar. Sejak Sultan Suryanullah, kemudian diikuti oleh penggantinya, yakni Sultan Rahmatullah hingga Sultan Adam Al-Watsiq Billah yang kemudian digantikan oleh Sultan Tamjidillah sebagai sultan terakhir dari Kerajaan Banjar. Di dalam struktur pemerintahan kerajaan Banjar, selain mengikuti pola lama yang dipengaruhi budaya Hindu, juga ditambahkan nuansa Islam seperti adanya lembaga Mufti dan Kadhi atas usul ulama terkemuka ketika itu, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari. Hal ini jelas menunjukan secara langsung masuknya unsur Islam ke dalam system pemerintahan Kerajaan Banjar. Lebih dari itu hadirnya Undang-Undang Sultan Adam pun mengindikasikan bagaimana unsur Islam mengatur segala segi kehidupan rakyat ketika itu, sebab Undang-Undang ini menjadikan ajaran Islam sebagai landasannya.
Dari sisi yang lain, ada bukti sejarah yang menunjukkan manuskrip-manuskrip dalam hal korespondsensi antara para sultan dan pembesar dari Kerajaan Banjar kepada pemerintahan kolonial senantiasa di tulis dalam huruf Arab berbahasa melayu. Diawal surat yang dikirimkan oleh sultan atau pembesar Kerajaan Banjar kepada pemerintah kolonial senantiasa mencantumkan kata-kata seperti “…Warqoh al-ikhlas wa tuhfah al-ijnas…”, “…waroqatul ikhtisos qosdul khoir…”, atau “Qawluhu al-haqq wa kalamuhu al-sadiq”. Hal semacam ini menunjukan hal keislaman itu pada kalangan elit masyarakat Banjar ketika itu.
Pada masa kini, bahasa Arab praktis banyak dikuasai oleh kalangan santri, yang mengenyam pendidikan di puluhan pondok pesantren yang ada di kabupaten Banjar. Bahkan ucapan-ucapan dalam bahasa Arab juga lazim diucapkan oleh masyarakat awam. Jika penggunaan huruf Arab dapat mengindikasikan atau guna menunjukan nuansa keislaman, maka saat ini banyak ditemui untuk papan nama-nama jalan atau perkantoran dan fasilitas umum di Kabupeten Banjar yang menggunakan huruf Arab mengiringi penggunaan huruf Latin. Mungkin ini dimaksudkan untuk masyarakat setempat yang tidak bisa membaca huruf Latin namun dapat membaca dalam huruf Arab. Bagi orang-orang Timur Tengah tentu dapat membaca hurufnya, namun boleh jadi mereka tidak paham maksudnya. Karena Arab-Melayu yang diperagakan dalam penamaan jalan dan kantor pemerintah itu hanya sekadar meminjam aksara Arab, tetapi tidak berarti menggunakan bahasa Arab. Kata “Jalan” (نالاج) dalam aksara Arab, tidak sama dengan “jalan” dalam bahasa Arab (قيرطلا). Hal itulah yang harus dipahami ketika menafsirkan nuansa Islami dalam budaya Banjar.
Sejak dakwah yang dimulai oleh Syeh Muhammad Arsyad al-Banjari pada abab ke-19, Islam berkembang pesat, disebarkan oleh murid dan anak cucunya. Selain Muhammad Arsyad Al-Banjari, di Kabupaten Banjar kemudian dikenal ulama-ulama terkemuka seperti K.H Zainal Ilmi, K.H Kasyful Anwar, K.H Badaruddin (Haji Ibad), Guru Muhdar, K.H Zaini Ghani (Guru Sekumpul), K.H Anang Djazouli (Abah Anang), Guru Bakri, dan yang lainnya. Pada masa kini, peran ulama itu diukung oleh lembaga-lembaga pendidikan keislmanan, mulai tingkat Ibtidiyah, Tsanawiyah hingga Aliyah hingga podok pesantren dan perguruan tinggi Islam.
Untuk memperingati para ulama besar penyebar agama Islam, masyarakat Banjar terbiasa untuk menggelar “haul”, yakni hari peringatan meninggalnya ulama besar tersebut. Dua “haul” besar menjadi events tahunan di Kabupaten Banjar adalah haul Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari (di Kalampayan) dan haul K.H Zaini Ghani (di Sekumpul). Haul Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dilaksanakan pada setiap bulan Syawal tahun Hijriah, sedangkan haul K.H Zaini Ghani dilaksanakan pada setiap bulan Rajab tahun Hijriah. Kedua haul ini mampu menghadirkan ratusan ribu orang pada setiap penyelenggaraannya. Pada setiap haul ini diselenggarakan sedikit banyak merefleksikan nuansa keislaman yang kuat pada masyarakat di Kabupaten Banjar.
— March 2, 2024