Kita masih menyimpan “kutukan” lain soal susu, yakni pola konsumsinya yang penuh anomali.
Dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang konsumsi susu cairnya jauh lebih rendah daripada susu bubuk. Ini dipercaya berkaitan dengan rendahnya tingkat ekonomi masyarakat kita.
Susu cair harus cepat habis diminum dan ditaruh di kulkas begitu kemasannya dibuka. Makanya, kalau tak punya kulkas, susu bubuk menjadi pilihan yang lebih praktis. Padahal, susu cair segar masih mengandung gizi dan rasa alami.
Dalam kondisi murni alias belum diolah, susu sapi mengandung 3,5% total protein, yaitu 2,8% casein (protein utama susu berbentuk gumpalan) dan 0,7% whey (protein utama susu berbentuk cair). Susu juga berisi 3,7% lemak, 4,8% karbohidrat, dan 0,7% abu.
Kandungan utama susu segar yaitu air, lemak, protein, laktosa, dan mineral. Susu juga memiliki sejumlah zat lain macam enzim, vitamin, dan fosfolipid (zat berbahan seperti lemak). Laktosa, jenis gula yang hanya ada dalam susu, merupakan karbohidrat sederhana yang membantu penyerapan kalsium dalam tubuh.
Tapi kan tak mungkin mereguk susu segar yang baru diperah begitu saja dari kambing sapi, canda Prof. Made Astawan, guru besar Teknologi Pangan dan Gizi IPB. Mengapa?
Karena sarat kandungan gizi dan cairan, susu menjadi media sempurna
pertumbuhan bakteri, hingga cepat asam dan basi.
Karena tak mungkin langsung mengonsumsi dari sumbernya itulah, sejak dulu selalu dicari cara terbaik agar susu segar tahan lama.
Awalnya, susu didinginkan pada suhu 0 – 4C. Pada kondisi ini, umur simpannya maksimal 48 jam. Kemudian ditemukan cara pasteurisasi (di pasar swalayan, kita bisa mendapatkan kemasan susu pasteurisasi di lemari pendingin). Susu dipanaskan 72C selama 15 detik, dan disimpan dalam suhu 5- 7C, sehingga daya tahannya maksimal menjadi 14 hari.
Berikutnya, ada susu sterilisasi konvensional, yang dipanaskan pada suhu 120C selama 15 menit. Dalam kemasan yang belum dibuka, umur simpan susu ini bisa mencapai enam bulan.
Lalu ditemukan cara pengawetan yang membuat susu segar jadi susu bubuk kering dengan pemanasan 80C selama 30 detik, dikeringkan dengan spray dryer atau roller dryer sekitar dua jam per ton pada suhu 180C, Susu pun bisa awet sampai dua tahun dalam kemasan aluminium dan kotak karton.
Celakanya, pola pemanasan itu selain membunuh bakteri, juga mengikis
vitamin, mineral, dan enzim. Protein pun rusak sekitar 30%. Kerusakan itu coba ditebus dengan menambah zat gizi yang hilang, tapi kondisinya takkan sama seperti semula. Apalagi, menurut Made Astaman, bisa timbul reaksi Maillard, yaitu terjadi pigmen coklat antara gula dan protein susu karena pemanasan yang lama, menyebabkan protein makin sulit dicerna.
Akhirnya, upaya mengawetkan susu dan gizinya sampai pada metode susu UHT (ultra high temperature), yaitu memanaskan susu segar selama empat detik pada suhu 140C untuk mematikan semua bakteri tanpa merusak mutu gizinya. Teknologi pengawetan ini diiringi penemuan teknologi pengemasan aseptic pada 1989, yang menggunakan enam lapis kertas, plastik polyethylene, dan alumunium foil yang mampu melindungi susu dari udara luar, cahaya, kelembaban, aroma luar, dan bakteri.
Susu UHT dalam kemasan aseptik ini tahan disimpan dalam suhu kamar sampai 10 bulan, tanpa bahan pengawet. Di pasar swalayan, kita bisa menemukan susu jenis ini di rak biasa, sejajar dengan kemasan pangan kering lain.
Sampai saat ini, susu berkemasan aseptik dianggap sebagai penemuan terbesar dalam teknologi pengemasan pangan 50 tahun terakhir. Namun, begitu kemasannya dibuka, harus tetap masuk kulkas. (Intisari).
`
copy paste? silahkan, tidak dilarang. Tapi minta tolong supaya dicantumkan link sumbernya, anda lebih keren.
— April 3, 2005