Setelah si kecil diimunisasi, sudah pastikah ia aman dari penyakit? Pada kondisi apa imunisasi harus ditunda?
“Buat apa, sih, vaksinasi MMR, Tifoid, dan sebagainya? Zaman dulu juga enggak ada vaksinasi macam-macam dan terbukti sehat-sehat saja!” Pendapat seperti ini, tentu saja tidak benar. Memang, mungkin anak yang tidak diimunisasi tak kena penyakit. “Tapi kemungkinan besar lebih karena si anak tak terpapar kuman penyakit itu,” jelas dr. Hartono Gunardi, Sp.A, dari Sub-Bagian Tumbuh Kembang-Pediatri Sosial, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM, Jakarta.
Sementara anak-anak lain, bila tak diimunisasi bisa jadi sakit. Kalau memang penyakit tersebut ada vaksinnya danbisa dicegah, kenapa tak kita cegah? Imunisasi HiB, misal, untuk mencegah infeksi kuman Haemophilus Influenzae tipe B. Kalau tak diberikan dan si anak kecil terkena infeksi kuman HiB hingga terjadi meningitis (radang selaput otak), bisa fatal akibatnya.
Jadi, kalau memang penyakit tersebut sudah ditemukan vaksinnya, ya, lebih baik divaksinasi, kan? Memang, imunisasi tak 100 persen menjamin anak terbebas dari penyakit. Tapi minimal, kalau sampai kena pun, tak bakal separah seperti mereka yang tidak diimunisasi. Lagi pula, sekarang ini ilmu kedokteran sudah semakin maju. Tak ada salahnya dimanfaatkan untuk keluarga tercinta, bukan?
TINGKAT KEKEBALAN
Yang jelas, imunisasi, seperti kita ketahui, akan menimbulkan kekebalan. “Ia bisa mencegah penyakit sampai 96 persen ke atas.” Dengan kata lain, tak ada imunisasi yang bisa menjamin 100 persen kebal. Bahkan, aku Hartono, tingkat 96 persen ke atas saja, sudah bagus sekali.
Walaupun kecil kemungkinannya, kegagalan imunisasi tetap bisa terjadi. Misal, karena penyimpanan vaksin yang tak baik. Suhu tempat penyimpanannya tak sesuai dengan yang seharusnya. Faktor lain, potensi vaksin sudah berkurang, tanggal kadaluarsa terlampaui, dan respon tubuh yang kurang membentuk zat anti. Memang sebagian besar penyebab tadi dapat dicegah bila semua prosedur dijalankan petugas kesehatan dengan baik.
Jadi, apa yang harus kita lakukan? Jika jadwal imunisasinya tak teratur, kadar zat kekebalan yang ditimbulkan jadi lebih sedikit dan tak optimal. “Nah, inilah pentingnya orang tua mengikuti jadwal imunisasi agar tak terjadi kegagalan dan supaya responnya optimal,” pesan Hartono.
Yang harus dipahami, ada 3 faktor yang berperan dalam masalah sakit-tidaknya anak, yaitu daya tahan tubuh anak, lingkungan, dan kuman. Kalau anak kuat, daya tahannya bagus, status gizi baik, lalu terinfeksi kuman yang jumlahnya sedikit dan tak begitu ganas, “Kemungkinan dia tak akan jatuh sakit. Nah, kalau anak sudah diimunisasi, kekebalan sebenarnya sudah ada dan daya tahan tubuh jadi lebih baik. Meski sakit pun, akan lebih ringan dibanding jika tak pernah diimunisasi.”
BERLEBIH TAK MASALAH
Hal lain yang perlu diperhatikan, orang tua kerap lupa imunisasi ulang. Padahal, ada beberapa imunisasi yang perlu diulang agar responnya sesuai harapan. Salah satunya, imunisasi DPT, yang perlu diulang antara usia 18 bulan-2 tahun, kemudian diulang lagi saat usia masuk 1 SD atau umur 5 tahun, dan terakhir di usia 10-12 tahun (hanya DT saja). Demikian pula imunisasi polio dan campak yang juga perlu diulang. Jika imunisasi ulangan tak diberikan, daya tahan tubuh jadi tak terlalu baik. Alhasil, imunisasi jadi kurang berhasil.
Orang tua juga kerap khawatir anak kelebihan imunisasi, saat ia memperolehnya di sekolah lewat program BIAS. “Tak perlu khawatir karena tak akan memberi efek samping. Yang terjadi justru daya tahan anak akan terpacu lagi dan meningkat.” Kalau toh ada efek sampingnya, jelas Hartono, “Hanya efek vaksinnya. Misal, bercak kemerahan atau demam ringan.” Ia juga menjelaskan, saat dokter ragu akan riwayat imunisasi anak, “Biasanya dokter akan memberi vaksinasi.” Jadi, tak perlu khawatir, Bu-Pak!
copy paste? silahkan, tidak dilarang. Tapi minta tolong supaya dicantumkan link sumbernya, anda lebih keren.
— April 3, 2005