Berbagai informasi tentang vaksinasi tersedia bagi para orang tua. Hal ini sangatlah baik, karena para orang tua seharusnya mendapatkan akses terhadap informasi yang dapat membantu mereka untuk membuat keputusan yang tepat mengenai vaksinasi. Meskipun demikian, informasi yang ada terkadang tidak akurat atau bahkan menyesatkan apabila diterapkan dalam konteks yang berbeda.
Berikut ini adalah enam salah pengertian yang ada dalam berbagai artikel mengenai vaksinasi, berikut penjelasan mengapa hal itu disebut salah pengertian.
§ Penyakitnya sudah mulai menghilang sebelum vaksin mulai diperkenalkan karena kesehatan dan kebersihan saat ini lebih baik.
§ Mayoritas orang yang tertular penyakit, sebelumnya sudah pernah divaksinasi.
§ Adanya “lot vaksin berbahaya” yang sering dihubungkan dengan kejadian yang tidak menyenangkan bahkan kematian.
§ Vaksin dapat menimbulkan efek samping yang berbahaya, penyakit bahkan kematian.
§ Penyakit yang dapat dicegah dengan vaksin sudah punah (di Amerika Serikat.
§ Memberikan beberapa suntikan vaksinasi untuk penyakit yang berbeda secara bersamaan pada anak dapat meningkatkan resiko timbulnya efek samping dan membuat sistem kekebalan tubuh anak kelebihan beban.
Prakata
Tujuan dari selebaran ini adalah untuk menjelaskan enam salah pengertian yang ada mengenai vaksinasi yang seringkali dikutip oleh para orang tua yang khawatir sebagai alasan untuk mempertanyakan perlu tidaknya vaksinasi untuk anak-anak mereka. Apabila kita merespon dengan jawaban yang akurat mungkin kita tidak hanya membuat pikiran mereka lebih tenang akan isu-isu yang beredar ini tapi juga membuat mereka menolak untuk menerima “fakta” anti-vaksin secara sembarangan. Tujuan kita bukanlah untuk mengancam para orang tua untuk melakukan vaksinasi, tapi untuk memastikan bahwa mereka menerima informasi yang akurat dengan mana mereka bisa membuat keputusan berdasarkan infomasi yang tepat.
* Penyakit-penyakit itu sudah mulai menghilang sebelum vaksinasi diperkenalkan, karena kesehatan dan kebersihan saat ini lebih baik.
Pernyataan seperti ini sering kita liat dalam bacaan anti vaksin, tujuannya adalah untuk menunjukkan bahwa vaksin tidak diperlukan. Kondisi sosioekonomi yang lebih baik tidak diragukan lagi mempunyai pengaruh secara tidak langsung terhadap keberadaan suatu penyakit. Gizi yang yang lebih baik, belum lagi dengan adanya antibiotika dan terapi-terapi lain, telah meningkatkan jumlah kesembuhan dari suatu penyakit; kondisi lingkungan yang tidak terlalu berdesakan telah mengurangi tingkat penularan penyakit; dan jumlah kelahiran yang lebih rendah telah mengurangi populasi rentan tertular di dalam suatu rumah tangga. Tetapi melihat angka terjadinya suatu penyakit secara aktual selama beberapa tahun menghilangkan keraguan bahwa vaksinasi memiliki pengaruh secara langsung, bahkan di jaman modern. Contohnya, di bawah ini adalah grafik yang menunjukkan angka terjadinya campak dari tahun 1950 sampai saat ini
Ada beberapa periode puncak dan penurunan selama rentang tahun tersebut, tetapi penurunan tajam yang sesungguhnya terjadi pada saat vaksin campak mulai diperkenalkan dan kemudian digunakan secara luas di awal tahun 1963. Grafik untuk penyakit lain yang dapat dicegah oleh vaksin juga menunjukkan pola yang kurang lebih sama, kecuali untuk hepatitis B*, di mana semua menunjukkan penurunan yang tajam pada kasus-kasus yang berhubungan dengan penggunaan vaksin. Apakah kita diharapkan untuk percaya bahwa kebersihan yang lebih baik menyebabkan angka kejadian pada tiap penyakit ini menurun, padahal pada saat yang sama vaksin untuk penyakit tersebut juga diperkenalkan?
* Angka kejadian untuk hepatitis B belum menurus secara dramatis karena anak-anak yang mulai kita vaksinasi di tahun 1991 belum memiliki resiko tinggi tertular penyakit sampai mereka mencapai usia remaja. Karena itu, kita menunggu dengan rentang waktu sekitar 15 tahun diantara permulaan diperkenalkannya dan adanya penurunan angka terjadinya suatu penyakit secara signifikan.
Vaksin HiB adalah contoh lain yang juga bagus, karena penyakit yang disebabkan H. influenza B sangat biasa ditemukan sampai beberapa tahun yang lalu, saat vaksin yang bisa digunakan untuk balita akhirnya ditemukan. (Vaksin polisakarida yang sebelumnya sudah ada tidak dapat digunakan untuk balita, padahal banyak kasus menunjukkan bahwa penyakit ini terjadi pada usia balita.) Karena sanitasi pada saat ini tidak lebih baik daripada sanitasi pada tahun 1990, sulit rasanya untuk memberikan argumentasi lain bahwa penyebab hilangnya penyakit yang disebabkan H. influenza B pada anak-anak beberapa tahun belakangan ini (dari sekitar 20.000 kasus per tahun menjadi 1.419 kasus pada tahun 1993, dan terus menurun) adalah selain vaksin.
Varicella juga dapat digunakan untuk mengilustrasikan poin ini, karena sanitasi modern jelas-jelas tidak dapat mencegah terjadinya hampir 4 juta kasus varicella setahun di Amerika Serikat. Apabila penyakit-penyakit yang lain memang sudah mulai menghilang, kita seharusnya bisa melihat bahwa varicella juga mulai menghilang bersamaan dengan hilangnya penyakit-penyakit tersebut. Akan tetapi kenyataannya saat ini hampir semua anak di Amerika Serikat terjangkit penyakit ini, sama seperti 20 tahun atau 80 tahun yang lalu. Berdasarkan pengalaman dengan studi vaksin varicella sebelum lisensi vaksin tersebut dikeluarkan, sekarang kita bisa berharap bahwa varicella akan makin jarang terjadi karena sekarang vaksin varicella telah dilisensi di Amerika Serikat.
Akhirnya, kita bisa melihat pengalaman pada beberapa negara maju setelah tingkat imunisasi di negara tersebut menurun. Tiga negara – Inggris, Swedia dan Jepang – mengurangi penggunaan vaksin pertusiss karena adanya kekhawatiran mengenai vaksin tersebut. Efeknya terjadi dengan sangat cepat dan dramatis. Di Inggris, penggunaan vaksin pertussis menurun pada tahun 1074 diikuti adanya epidemi dengan timbulnya 100.000 kasus pertussis dan 36 kematian di tahun 1978. Di Jepang, pada saat yang kurang lebih sama, menurunnya angka vaksinasi dari 70% menjadi 20% -40 % menyebabkan peningkatan tajam pada kasus pertussis dari 393 kasus tanpa ada angka kematian di tahun 1974 menjadi 13,000 kaus dan 41 kematian di tahun 1979. Di Swedia, tingkat terjadinya pertussis pada 100,000 anak usia 0-6 tahun meningkat dari 700 kasus pertahun di tahun 1981 menjadi 3,200 pertahun di tahun 1985. Kelihatan jelas dari pengalaman-pengalaman ini bahwa bukan hanya penyakit tidak akan hilang tanpa adanya vaksin, tapi juga bila kita berhenti memberikan vaksinasi, penyakit tersebut akan kembali lagi.
Yang paling baru terjadi adalah epidemi difteri yang sekarang terjadi di mantan negara Uni Soviet, dimana angka imunisasi untuk anak-anak sangat rendah dan tidak adanya vaknisasi ulangan untuk orang dewasa telah menyebabkan meningkatnya kasus difteri dari 839 kasus di tahun 1989 menjadi hampir 50,000 kasus dan 1,700 kematian di tahun 1994. Setidaknya ada 20 kasus difteri yang berasal dari negara tersebut di Eropa dan 2 kasus pada warga AS yang bekerja di mantan negara Uni Soviet.
* Mayoritas orang yang terkena penyakit, sebelumnya sudah pernah di vaksinasi.
Ini adalah argumentasi lain yang biasa ditemukan pada bacaan anti vaksinasi – implikasi yang ditimbulkan adalah hal ini membuktikan bahwa vaksin sangat tidak efektif. Pada kenyataannya, memang benar bahwa pada saat wabah suatu penyakit, jumlah orang yang terjangkit walaupun sudah pernah di vaksinasi lebih besar daripada mereka yang belum pernah divaksinasi – bahkan pada vaksin seperti campak, yang seperti kita tahu mempunyai efektivitas 98% bila digunakan sebagaimana direkomendasikan.
Paradoks seperti ini dapat dijelaskan dengan dua faktor. Pertama, tidak ada vaksin yang 100% efektif. Untuk membuat suatu vaksin lebih aman daripada penyakitnya sendiri, bakteri atau virusnya telah dimatikan atau dilemahkan. Untuk alasan-alasan lain yang sifatnya individual, tidak semua orang yang telah divaksinasi bisa mengembangkan kekebalan tubuhnya. Kebanyakan vaksin rutin pada masa kanak-kanak bisa efektif pada 85% sampai 95% penerimanya. Kedua, di negara seperti Amerika Serikat jumlah orang yang telah divaksinasi lebih besar daripada jumlah orang yang belum divaksinasi sehingga akan terjadi gambaran seperti yang digembar-gemborkan dalam kesalahpahaman ini. Bagaimana kedua faktor ini dapat menyebabkan terjadinya wabah dimana kasus terbesar tejadi pada mereka yang telah divaksinasi dapat lebih mudah dimengerti dengan melihat pada contoh kasus hipotetis berikut ini:
Di sebuah SMA dengan 1.000 orang murid, tak seorangpun pernah terjangkit cacar. Semua siswa kecuali 5 orang murid pernah mendapatkan vaksinasi cacar sebanyak 2 kali, sehingga mereka memiliki kekebalan tubuh. Tubuh semua siswa terekspos terhadap cacar, dan siswa yang kondisinya rentan terinfeksi penyakit tersebut. Kelima siswa yang tidak divaksinasi, tentu saja terinfeksi. Tetapi dari 995 siswa yang telah divaksinasi, kita bisa mendapatkan beberapa orang yang tidak memberi respon terhadap vaksin. Tingkat efektivitas untuk dua kali vaksin cacar bisa mencapai >99%. Di kelas ini, 7 murid tidak memberi respon, dan mereka juga terinfeksi. Sehingga 7 dari 12, atau sekitar 58%, dari kasus yang terjadi menimpa siswa yang telah divaksinasi penuh.
Seperti yang bisa anda lihat, hal ini tidak membuktikan bahwa vaksin tidak bekerja. Yang terjadi adalah sebagian besar siswa di kelas telah divaksinasi, tetapi jumlah siswa yang telah divaksinasi dan tidak merespon vaksin lebih banyak daripada jumlah siswa yang tidak divaksinasi. Jika dilihat dari sudut yang berbeda, 100% (5 dari 5) siswa yang tidak divaksinasi terjangkit cacar, bandingkan dengan kurang dari 1% (7 dari 995) jumlah siswa yang telah divaksinasi.
Vaksinasi cacar melindungi sebagian besar siswa di kelas tersebut; bila tidak ada siswa di kelas itu yang telah divaksinasi, mungkin kita bisa mendapatkan 1,000 kasus campak disana.
* Adanya “lot vaksin yang berbahaya” yang dihubungkan dengan kejadian yang tidak menyenangkan bahkan kematian. Para orang tua harus mengetahui nomor dari lot-lot vaksin ini dan melarang anak-anak mereka untuk menerima vaksinasi yang berasal dari lot tersebut.
Kesalahpahaman ini mendapatkan publisitas belakangan ini saat keamanan vaksin menjadi subjek dari program berita di televisi. Pernyataan ini dibuat berdasarkan asumsi semakin banyak laporan ke VAERS** mengenai suatu vaksin lot, maka vaksin yang terdapat di dalam lot tersebut makin berbahaya; dan dengan melihat daftar jumlah laporan per lot, orang tua dapat mengidentifikasikan mana lot vaksin yang harus dihindari.
Hal ini menyesatkan karena dua alasan:
1. Suatu laporan yang dibuat ke VAERS tidak berarti bahwa vaksin tersebut, atau vaksin lain yang berasal dari kelompok atau grup produksi yang sama menyebabkan insiden yang dilaporkan. VAERS adalah suatu sistem nasional untuk pelaporan masalah-masalah kesehatan yang terjadi pada saat yang kurang lebih bersamaan dengan terjadinya vaksinasi. Hanya beberapa kondisi kesehatan yang dilaporkan yang benar-benar merupakan efek samping yang berkaitan dengan suatu vaksin. Banyak kejadian berupa penyakit serius atau kematian yang dilaporkan ke VAERS terjadi diantara orang-orang yang baru saja divaksinasi adalah semata-mata karena faktor kebetulan.
Laporan VAERS memiliki banyak kekurangan karena seringkali laporan tersebut tidak memasukkan informasi penting, seperti hasil tes laboratorium, yang biasa digunakan untuk mengaitkan suatu kejadian dengan vaksin. Untuk semua hal yang penting dan kejadian-kejadian yang penting secara klinis (kejadian yang membahayakan jiwa, berhubungan dengan rumah sakit, cacat permanen, kematian) tindak lanjut dengan penyedia jasa kesehatan dan/atau orang tua atau orang yang divaksinasi harus dilakukan untuk mencoba menggali informasi tambahan untuk laporan tersebut di atas. Karena terbatasnya sistem pelaporan semacam ini, kausalitas sulit untuk disimpulkan. Intinya, para ilmuwan tidak dapat mengidentifikasi adanya masalah pada suatu vaksin dengan hanya berdasarkan pada laporan VAERS saja tanpa menganalisa faktor-faktor dan data-data lain secara sistematis.
2. Lot vaksin tidak sama satu sama lain. Ukuran lot vaksin mungkin berbeda-beda antara beberapa ratus ribu dosis sampai beberapa juta, dan ada beberapa yang berada di jalur distribusi lebih lama dari yang lain. Umumnya pada lot yang lebih besar atau pada lot yang berada di jalur distribusi lebih lama akan dihubungkan dengan kejadian yang tidak menyenangkan, hanya karena faktor kebetulan. Selain itu, kematian yang juga bersifat kebetulan dihubungkan dengan vaksinasi yang diberikan pada masa balita, karena angka kematian tertinggi pada anak-anak terjadi pada tahun pertama dalam kehidupan mereka. Oleh karena itu mengetahui bahwa lot A dihubungkan dengan sejumlah x kejadian yang tidak menyenangkan sementara lot B dihubungkan dengan sejumlah y kejadian tidak berarti bahwa kedua lot tersebut tidak aman, meskipun vaksin tersebut memang menyebabkan terjadinya kejadian tersebut.
Mengetahui daftar “lot berbahaya” yang diterbitkan tersebut tidak akan membantu para orang tua untuk mengidentifikasikan vaksin terbaik atau terburuk untuk anak-anak mereka. Bila dari jumlah dan kategori laporan VAERS untuk suatu vaksin lot tertentu dapat disimpulkan bahwa lot tersebut leibh banyak dihubungkan dengan kejadian yang lebih serius bahkan kematian daripada yang diperkirakan, maka FDA (Food and Drug Administration – semacam badan Pemeriksa Obat dan Makanan) mempunyai otoritas secara hukum untuk menarik lot tersebut. Sampai saat ini, belum ada lot vaksin di era modern ini yang pernah ditemukan tidak aman berdasarkan laporan VAERS.
Semua fasilitas pembuatan vaksin dan produk vaksin dilisensi oleh FDA. Sebagai tambahan, semua lot vaksin telah dites keamanannya oleh pembuatnya. Hasil tes ini dievaluasi oleh FDA, yang mungkin saja akan mengulangi beberapa tes yang sudah lakukan sebelumnya sebagai tindakan pengamanan tambahan. FDA selain menginspeksi fasilitas-fasilitas membuatan vaksin untuk memastikan bahwa prosedur pembuatan dan peraturan pengujian produk telah dilakukan, juga melakukan evaluasi mingguan terhadap laporan mingguan VAERS untuk setiap lot dalam rangka mencari kejadian yang tidak biasa. FDA akan langsung menarik suatu lot vaksin bila menemukan tanda-tanda akan adanya masalah. Tidak ada untungnya bagi FDA atau produsen untuk membiarkan adanya vaksin yang tidak aman di pasaran. Masyarakat Amerika tidak akan memberikan toleransi adanya vaksin yang tidak memenuhi standard keselamatan yang paling akurat. Melihat fakta bahwa lot vaksin tersebut masih didistribusikan membuktikan bahwa FDA menganggap vaksin tersebut aman.
* Vaksin dapat menimbulkan efek samping yang berbahaya, penyakit, bahkan kematian – bahkan mungkin ada efek jangka panjang yang tidak diketahui
Vaksin sebetulnya sangat aman, meskipun adanya implikasi yang sebaliknya didalam publikasi-publikasi anti vaksin (yang terkadang mengandung sejumlah laporan yang diterima oleh VAERS, dan membuat pembacanya menyimpulkan bahwa semua itu mewakili efek samping dari vaksin yang sesungguhnya). Biasanya kejadian yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan vaksin bersifat ringan dan temporer, seperti lengan sakit dan demam ringan. Kejadian yang lebih serius sangat jarang terjadi (dengan tingkat kejadian satu per seribu setiap satu per sejuta dosis), dan ada yang sedemikian jarangnya sehingga resiko tidak bisa dievaluasi secara akurat. Untuk vaksin-vaksin yang dapat menyebabkan kematian, sekali lagi sedikit sekali kematian yang dapat dihubungkan secara rasional dengan vaksin sehingga sulit untuk mengevaluasi resikonya secara statistik. Pada kematian yang dilaporkan ke VAAERS antara 1990 dan 1992, hanya satu yang dipercaya dapat dihubungkan dengan vaksin. Setiap kematian yang dilaporkan ke VAERS akan diperiksa secara hati-hati untuk memastikan bahwa kematian tersebut tidak dihubungkan dengan masalah yang berhubungan dengan vaksin, tapi hanya sedikit atau bahkan tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa vaksinlah yang menyebabkan terjadinya kematian tersebut. Institute of Medicine pada laporannya tahun 1994 menyatakan bahwa resiko kematian yang disebabkan oleh vaksin “teramat sangat rendah.”
Vaksin DTP dan SIDS
Satu mitos yang masih saja beredar adalah bahwa vaksin DTP menyebabkan terjadinya sudden infant death syndrome (SIDS) – sindrom kematian tiba-tiba yang terjadi pada bayi. Mitos ini terjadi karena adanya sejumlah anak yang meninggal karena SIDS setelah sebelumnya diimunisasi DTP; dan sepintas lalu, kejadian ini seeprtinya menunjukkan hubungan sebab akibat yang nyata. Akan tetapi sesungguhnya logikanya tidak “nyambung”; anda bisa saja mengatakan bahwa makan roti menyebabkan terjadinya kecelakaan mobil, karena kebanyakan pengemudi yang terlibat kecelakaan mobil menunjukkan bahwa mereka makan roti dalam waktu 24 jam sebelumnya.
Bila dilihat bahwa kebanyakan kematian akibat SIDS terjadi dalam rentang umur saat 3 suntikan DTP diberikan, maka anda bisa menyimpulkan bahwa kematian akibat SIDS yang didahului dengan suntikan DTP hanya sekedar kebetulan belaka. Bahkan, saat sejumlah studi yang diawasi dilakukan pada tahun 1980-an, para peneliti menemukan, bahwa jumlah kematian akibat SIDS yagn saat itu dihubungkan dengan vaksinasi DTP berada dalam batas jumlah kebetulan yang sudah diperkirakan akan terjadi. Dengan kata lain, kematian akibat SIDS tetap akan terjadi meskipun vaksinasi tidak diberikan. Sebetulnya, dalam beberapa studi, anak-anak yang baru saja diberikan suntikan DTP malah lebih kecil kemungkinannya terkena SIDS. The Institute of Medicine melaporkan bahwa “semua penelitian yang diawasi yang membandingkan anak-anak yang diimunisasi dan anak-anak yang tidak diimunisasi tidak menemukan adanya hubungan… atau resiko lebih rendah….. untuk terjadinya SIDS pada anak-anak yang diimunisasi” dan menyimpulkan bahwa “bukti-bukti tidak menunjukkan adanya hubungan sebab akibat antara vaksin [DTP] dan SIDS”.
Akan tetapi hanya melihat resikonya saja tidaklah cukup – anda juga harus selalu melihat pada resiko dan keuntungan. Bahkan satu efek serius di dalam setiap satu juta dosis vaksin tidak dapat membenarkan anggapan bahwa vaksinasi tidak berguna. Apabila tidak ada vaksin, maka akan terdapat lebih banyak terjadi kasus penyakit, dan bersamaan dengan itu, akan lebih banyak timbul efek samping yang lebih serius juga lebih banyak kematian. Contohnya, berdasarkan analisa untung dan rugi dari diberikannya imunisasi DTP, apabila AS tidak memiliki program imunisasi, kasus pertussis akan meningkat 71 kali lebih banyak dan kematian akibat pertussis akan meningkat 4 kali lebih banyak. Membandingkan resiko dari penyakit tersebut dengan resiko dari pemberian vaksin bisa memberikan gambaran dari keuntungan yang akan kita dapatkan dengan memberikan vaksinasi pada anak-anak kita.
Resiko dari penyakit vs Resiko dari Vaksin
PENYAKIT
Campak
Pneumonia: 6 dari 100
Encephalitis: 1 dari 1,000
Kematian: 2 dari 1,000
Rubella
Congenital Rubella Syndrome: 1 dari 4 (apabila seorang wanita terinfeksi di awal kehamilan)
VAKSIN
MMR
Encephalitis atau reaksi alergi yang parah:
1 dari 1,000,000
PENYAKIT
Diphtheria
Penyakit: 1 dari 20
Tetanus
Kematian: 2 dari 10
Pertussis
Pneumonia: 1 dari 8
Encephalitis: 1 dari 20
Kematian: 1 dari 200
VAKSIN
DTaP
Menangis terus menerus, kemudian pulih total: 1 dari 1000
Kejang-kejang atau shock, kemudian pulih total: 1 dari 14,000
Acute encephalopathy: 0-10.5 dari 1,000,000
Kematian: Tidak ada yang terbukti
Faktanya adalah anak mempunyai resiko lebih besar karena menderita salah satu penyakit di atas daripada bila ia mendapatkan vaksinnya. Bila cedera serius atau kematian yang disebabkan oleh vaksin itu adalah resiko yang terlalu besar, maka jelaslah bahwa keuntungan pemberian vaksinasi jauh melebihi resiko yang ada, dan lebih banyak lagi cedera dan kematian akan dapat terjadi tanpa adanya vaksinasi.
Penelitian yang sedang dilakukan oleh U.S. Public Health Service – Departement Kesehatan AS meneliti mana kejadian-kejadian yang tidak mengenakkan akibat vaksinasi yang benar-benar merupakan akibat dari vaksin itu sendiri dan bagaimana lebih mengurangi resiko terjadinya cedera akibat diberikannya vaksinasi.
* Penyakit yang dapat dicegah oleh vaksin telah punah di Amerika Serikat, sehingga anak saya tidak perlu di vaksinasi
Untuk kasus ini, mari kita lihat AS sebagai contoh. Memang betul bahwa vaksinasi telah membuat kita berhasil mengurangi jumlah terjadinya penyakit yang dapat dicegah oleh vaksinasi sampai pada level yang terendah di Amerika Serikat. Meskipun demikian, masih ada sisa-sisa penyakit itu yang masih tetap bertahan – bahkan mewabah – di bagian dunia yang lain. Para pelancong dapat secara tidak sadar membawa penyakit-penyakit ini kembali ke wilayah Amerika Serikat, dan apabila rakyat AS tidak dilindungi oleh vaksinasi penyakit ini dapat kembali menyebar ke seluruh populasi dan menjadi wabah di sana. Pada saat yang sama, beberapa kasus kecil yang terjadi di negara ini dapat dengan cepat menjadi puluhan bahwa ribuan kasus tanpa adanya perlindungan yang didapatkan dari vaksinasi.
Pada saat itu, kita masih dapat divaksinasi karena dua alasan. Pertama adalah untuk melindungi diri kita sendiri. Meskipun kita pikir peluang kita untuk terjangkit penyakit ini sangatlah kecil, tetapi penyakitnya sendiri tetap ada dan masih bisa menjangkiti siapa saja yang tidak terlindung. Beberapa tahun yang lalu di California, seorang anak yang baru masuk sekolah terjangkit diphteria dan meninggal. Hanya dia satu-satunya di kelas itu yang belum divaksinasi.
Alasan kedua, mendapatkan vaksinasi berarti kita juga melindungi orang-orang di sekeliling kita. Ada sejumlah kecil orang yang tidak boleh divaksinasi (contohnya, karena alergi berat terhadap komponen yang terdapat di dalam vaksin), dan sejumlah kecil lagi orang-orang yang tidak merespon vaksin. Orang-orang ini sangat rentan terhadap penyakit, dan satu-satunya harapan mereka akan memperoleh perlindungan adalah bahwa orang-orang disekitar mereka sudah memiliki kekebalan dan tidak dapat menularkan penyakit kepada mereka. Suatu program vaksinasi yang sukses, seperti juga komunitas yang sukses, bergantung pada kerjasama setiap individu untuk memastikan kebaikan bagi semua orang. Kita bisa mengatakan bahwa seorang pengemudi tidak bertanggung jawag karena ia tidak mematuhi aturan lalu lintas dengan anggapan bahwa pengemudi lain akan mengawasi orang tersebut. Dengan cara yang sama kita tidak bisa tergantung pada orang-orang disekitar kita untuk menghentikan penyebaran penyakit; kita juga, harus melakukan apa yang kita bisa.
* Memberikan beberapa suntikan vaksinasi untuk penyakit yang berbeda secara bersamaan pada anak dapat meningkatkan resiko timbulnya efek secara bersamaan pada anak dapat meningkatkan resiko timbulnya efek samping dan membuat sistem kekebalan tubuh anak kelebihan beban.
Anak-anak sudah terpapar pada berbagai macam antigen setiap harinya. Makan makanan akan memasukkan bakteri baru ke dalam tubuh, dan berbagai macam bakteri hidup di dalam mulut dan hidung, membuat sistem kekebalan tubuh terpapar pada lebih banyak lagi antigen. Infeksi virus pada saluran napas bagian atas membuat seorang anak terpapar pada 4 – 10 antigen, dan pada kasus ‘radang tenggorokan’ pada 25-50 antigen. Menurut Adverse Events Associated with Childhood Vaccines, laporan dari Institute of Medicne tahun 1994 mengatakan, “Menghadapi kejadian normal seperti ini, sepertinya tidak mungkin jumlah antigen yang berbeda-beda yang terdapat pada vaksin di masa kanak-kanak… akan menimbulkan beban tambahan yang berarti pada sistem kekebalan tubuh sehingga menimbulkan keadaan immunosuppresive – hilangnya kekebalan tubuh.” Dan, memang, data ilmiah yang ada menunjukkan bahwa vaksinasi simultan dengan beberapa vaksin tidak memiliki efek yang berbahaya pada sistem kekebalan tubuh anak-anak yang normal.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk memeriksa efek pemberian berbagai variasi pemberian vaksin secara simultan. Bahkan, baik Advisory Committee on Immunization Practices (ACIP) maupun American Academy of Pediatrics (AAP) tidak akan merekomendasikan pemberian vaksin secara simultan apabila penelitian tersebut tidak menunjukkan bahwa pemberian kombinasi tersebut aman dan efektif. Penelitian ini menunjukkan bahwa vaksin yang direkomendasikan sama efektifnya baik diberikan secara individual maupun secara kombinasi, dan pemberian secara kombinasi tidak menimbulkan resiko efek samping yang lebih besar. Konsekuensinya, ACIP dan AAP merekomendasikan pemberian semua vaksin rutin untuk anak-anak secara simultan bila memungkinkan. Penelitian sedang dilakukan untuk menemukan cara agar lebih banyak antigen dapat dimasukkan ke dalam satu suntikan vaksin (contohnya, MMR dan cacar air). Suntikan ini akan akan memberikan semua keuntungan dari vaksin secara individual, tapi membutuhkan jumlah suntikan yang lebih sedikit.
Ada dua faktor praktis dalam memutuskan pemberian beberapa vaksinasi dalam satu kunjungan. Pertama, kita ingin memberikan imunisasi anak-anak kita seawal mungkin untuk memberikan perlindungan kepada mereka selama beberapa bulan pertama yang rentan dalam kehidupan mereka. Hal ini biasanya berarti memberikan vaksin yang tidak diaktifkan mulai umur 2 bulan dan vaksin hidup pada 12 bulan. Ini menyebabkan berbagai dosis vaksin seringkali jatuh tempo pada waktu yang bersamaan. Kedua, memberikan beberapa vaksinasi pada saat yang bersamaan berarti berkurangnya kunjungan ke ruang praktek medis untuk keperluan vaksinasi, sehingga orang tua dapat berhemat baik waktu maupun uang, dan pengalaman traumatis bagi si anak juga berkurang.
Referensi:
Vaccines, 4th Edition
By Stanley A. Plotkin, MD and Walter A. Orenstein, MD
Approx. 1696 pages, Copyright 2004
http://www.us.elsevierhealth.com/product.jsp?isbn=0721696880
http://www.sehatgroup.web.id/artikel/199.asp?FNM=199
copy paste? silahkan, tidak dilarang. Tapi minta tolong supaya dicantumkan link sumbernya, anda lebih keren.
— April 6, 2004